Rabu, 16 Mei 2012

impian putih abu-abu


Walau hanya dalam mimpi…
Namaku Lena, aku anak tunggal dari sebuah keluarga yang kini sudah hancur. Mama dan papaku bercerai sejak aku duduk di kelas satu SMP. Entah apa yang mereka ributkan setiap hari, aku bosan mendengar ucapan-ucapan kotor mereka setiap aku pulang sekolah. Awalnya aku memilih ikut tinggal bersama mama, tapi melihat mama yang selalu pulang dengan om-om setiap malam, aku jadi malu. Tak jarang pula aku melihat mama membawa banyak barang-barang yang mahal. Padahal tidak mungkin mama dapat membeli semua barang itu, karena mama hanya bekerja di sebuah restoran sederhana. Akhirnya sebulan kemudian aku memilih pergi kerumah nenek di kampung sikamaya, sebuah kampung terpencil di sisi timur jawa. disana aku melanjutkan sekolahku dengan teman-teman kecilku. Aku dilahirkan dikampung ini, ketika umur 6 tahun aku pindah ke semarang, karena papa di pindah tugaskan.

Aku melanjutkan sekolah di SMPN 1 Sikamaya, biayanya tetap di tanggung papaku. Oh ya, papaku sudah pindah kerja di Jakarta. Dia selalu mengirim uang pada ibunya yang juga nenekku untuk keperluan biaya sekolah dan uang jajan. Tapi papa jarang pulang untuk menengokku, malah aku dengar sendiri papa sudah punya pacar baru. dan yang lebih parah, dia mengaku masih single pada pacarnya. Memang papaku masih terlihat muda meski umurnya sudah menginjak 37 tahun. Dan aku kecewa, papa tidak menganggapku. Saat itu aku merasa sebagai manusia yang paling malang, mamaku menjadi simpanan om-om dan  papaku akan segera menikah dengan status jejaka!.
Lalu aku harus berbuat apa? Aku butuh perhatian, aku juga ingin mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuaku seperti teman-temanku yang lain. Aku ingin papa yang mengambil raportku saat kenaikan kelas. Tapi aku tidak mendapatkan itu, jika boleh memilih, aku tak ingin dilahirkan ke dunia.
Pada saat terpuruk itulah aku dekat dengan seorang laki-laki bernama Rendi. Rumahnya tak jauh dari rumah nenekku. Dia kaka kelasku juga di SMP. Setiap hari kami bertemu dan makin akrab. Dia sangat baik padaku, sampai-sampai aku lupa telah menjadi orang yang tak di anggap oleh kedua orangtuaku. Kemudian benih-benih cinta mulai tumbuh di antara kami.aku dan Rendi berpacaran dari kelas 2 SMP. Aku, layaknya remaja yang lain, suka bermain dan berkumpul dengan teman-temanku. Teman-temanku yang lain juga rata-rata udah punya pacar. Dan mereka tak jarang bolos sekolah. Aku juga sama, seperti mereka. Aku dan Rendi sering bolos sekolah dan pergi ke tempat dimana aku bisa berduaan saja dengan Rendi.
Waktu itu, Rendi mengajakku kerumahnya yang sedang sepi. Ayah dan ibunya belum kembali dari pekerjaan mereka di sawah. Rata-rata penduduk di kampungku memang bermata pencaharian sebagai petani. Ria, adik Rendi sedang main dirumah bibinya. Jadilah hanya kami berdua dirumah itu. Kami bercanda dan menonton tv di ruang tengah, tapi tiba-tiba tangan Rendi mendekapku dan kemudian menciumku. Aku membalas ciumannya dengan hangat, dan tangan Rendi mulai membimbingku ke kamar. singkat cerita, kami melakukan hubungan *maaf* layaknya suami istri. Aku menikmatinya, saat itu aku tak memikirkan akibat dari yang kulakukan ini, yang aku rasakan hanyalah memiliki. Aku merasa utuh memiliki Rendi, aku bahagia bersama Rendi. dan kami terus melakukan hubungan itu di rumah Rendi yang selalu nampak sepi.
Beberapa minggu kemudian, perutku mulai tak bersahabat. Aku merasa mual dan ingin muntah, mukaku pucat. Nenek sempat mengajakku ke bidan desa. Tapi aku menolak, aku bilang aku baik-baik saja, hanya masuk angin. Aku tak begitu dekat dengan nenek, beliau sibuk banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Karena uang yang papaku kirimkan hanya cukup untuk biaya sekolah dan uang jajanku selama satu bulan. Itupun di irit-irit. Karena itu, untuk makan sehari-hari nenek bekerja sebagai buruh tani yang kerjanya dari subuh hingga sore hari dengan upah 15 ribu rupiah. Kakek bekerja sebagai pencari rongsokan yang penghasilannya pun tak jauh dari 20ribu.
 Sampai akhirnya aku terlambat haid 4 bulan. Aku mulai khawatir, aku takut jika aku hamil diluar nikah. Padahal aku baru masuk kelas 1 SMA, dan Rendi juga masih kelas 2 dan belum bekerja. Akhirnya untuk memastikan aku hamil atau tidak, aku membeli alat tes kehamilan di apotek. Dan hasilnya persis seperti yang aku khawatirkan. Positif!!!
“Ren, aku telat haid 4 bulan”kataku pada Rendi saat kami bolos sekolah untuk yang kesekian kalinya.
“trus maksudnya apa?”
“kemaren aku beli alat tes kehamilan, dan hasilnya positif. Aku juga udah pergi ke dokter kandungan dengan uang tabunganku, dan ternyata aku udah hamil 3 bulan” jelasku
“apa?kamu hamil?! Trus gimana donk?! Kamu gugurin aja deh. Aku belum siap jadi bapak yang harus menafkahi kamu dan anakmu nanti!”ujar Rendi dengan suara kesal
“gugurin? Pake apa?kita ga punya uang untuk aborsi atau beli obat buat gugurin kandungan”tegasku
“aarrrgghhh..!!!! yaudah nanti aku pikirin lagi gimana baiknya!!”
Lama Rendi tak memberi kejelasan akan hubungan kami, dan janin di perutku tak bisa menunggu kepastiannya, perutku semakin membesar, meskipun tidak begitu terihat aku sedang hamil, karena memang tubuhku agak gemuk dan usia kandunganku mulai menginjak 5 bulan.
Nenek mulai aneh melihat gerak-gerikku yang selalu memakai baju kedodoran. Padahal biasanya aku memakai kaos ketat dengan celana pendek se-lutut.
“Len,kamu tumben pake baju yang kebesaran,, emang bajumu udah pada ga muat ya?”
“lagi pengen aja koq nek. Abis Gerah pake baju ketat.”
“ooh, yasudah,, trus bagaimana sekolahmu?”
Pertanyaan nenek itu sempat membuatku terkejut, selama ini tak pernah lagi ada yang menanyakan tentang sekolahku, atau teman-temanku.
“beres koq nek, semuanya baik-baik aja”jawabku
“syukurlah kalau begitu, kamu harus sekolah yang rajin, biar bisa jadi orang (baca: sukses) ya, biar hidupmu tidak sengsara seperti nenek yang Cuma lulusan Sekolah Rakyat”ucapnya.
Serasa tersambar petir telingaku mendengar nasehat nenek barusan, aku menjadi sangat menyesal. Seandainya nenek tau, keadaanku yang sudah hamil ini.
Di suatu sore, aku datang menemui orangtua Rendi di rumahnya. Aku menceritakan perihal hubunganku dengan Rendi, dan keadaanku sekarang. Mendengar pengakuan itu, mereka sempat tak percaya, tapi setelah aku berikan alat tes kehamilan itu dan hasil usg dari dokter kandungan pekan lalu, akhirnya mereka percaya. Dan mereka akan menyuruh Rendi untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Setelah itu aku menceritakan semuanya pada nenek. Nenek kaget bukan kepalang, matanya sempat basah karena airmata. Aku sedih, dan merasa bersalah, tapi ini sudah terjadi. Akhirnya berita ini sampai juga pada papaku, yang kala itu sudah menikah dengan pacar barunya beberapa tahun lalu. Papaku juga sempat marah besar padaku dan mengancam tidak akan memberikan uang jajan lagi. Tapi pada akhirnya, papa mengalah dan merestuiku untuk menikah.
Satu minggu kemudian aku menikah dengan Rendi, tanpa ada pesta dan tamu undangan. Hanya acara ijab Kabul yang dihadiri keluarga terdekat saja. Karena papaku ada di Jakarta dan tak bisa pulang, pamanku yang menjadi walinya. Setelah menikah, Rendi tetap melanjutkan sekolahnya di kelas 3, yang tinggal beberapa bulan lagi selesai.
Tiga bulan kemudian, anak pertama kami lahir. Seorang bayi perempuan mungil dengan berat badan 3.2 kg dan panjang 35cm. Alhamdulillah, ini anugerah terindah dalam hidupku. Seorang putri yang kami beri nama “Lady ardiani”. Lady yang berarti Lena dan Rendi, dan ardiani yang diambil dari nama belakang Rendi ardian. saat kelahiran putri kami ini, Rendi juga baru saja menyelesaikan sekolah menengah atasnya. semakin lengkaplah kebahagiaanku, ketika suamiku Rendi bekerja dengan para buruh potong. Biarpun penghasilannya jauh dari cukup untuk mencukupi kebutuhan kami, tapi aku bahagia karena rendi mau berusaha dan bertanggungjawab. 
“Ya Tuhan, ampunilah segala dosa kami dimasa lalu, mudahkanlah segala urusan kami, serta bimbinglah kami kedalam jalan-Mu yang lurus…amiin” usai ku bermunajah, akupun merebahkan tubuhku disebelah Lady. Indah rasanya malam ini, damai dan hening, ku pandangi wajah putriku tercinta hingga aku menjelajah dalam dunia mimpi yang begitu indah,,, memakai seragam abu-abuku,, dan bermain bersama teman-teman sebaya…meskipun hanya dalam mimpi…aku tetap bahagia…  


……Selesaai……

#cerita ini rekayasaku belaka...... diambil dari kisah seorang kawan yang kini bahagia dengan jalan hidup yang telah ia pilih... selamat menempuh hidup baru.... teman...:)

1 komentar: